Senin, 05 Maret 2018

Runtuhnya Langit Malam, Tragedi Cilandak 30 Oktober 1984

Hawa malam di hari senin 30 oktober 1984  itu terasa panas, acara dunia dalam berita yang dibacakan pembaca berita Unun Sugianto dan Yasir Denhas di TVRI baru saja usai mengumandangkan jingle khas penutupnya dilanjutkan  acara Arena dan Juara, sebuah acara  favorit saya meskipun hanya berupa rekaman-rekaman pertandingan menarik di beberapa cabang olah raga. Saat memasuki kamar depan dan membuka jendela untuk memberi hawa segar masuk kedalamnya, bunyi petasan yang meletup-letup terdengar bersahutan dari arah belakang rumah.

Cukup lama saya menyimak suara janggal itu, karena biasanya hajatan penduduk pinggir kompleks perumahan umumnya dilaksanakan di hari sabtu atau minggu dan mereka sering membunyikan petasan tanda pembuka pesta. Suara teriakan tiba-tiba membahana di malam itu, sahut menyahut memberi tahu berita yang terdengar simpang siur, "Gudang peluru meledak lagiii!". Kaki saya spontan melintasi bibir jendela kamar dan melompatinya hingga sampai ke teras depan. Ibu, kakak dan adik saya keluar memastikan berita, saat itu ayah tak ada di rumah, ia berdinas di satu kantor militer di pusat Jakarta. Tubuh kurus saya yang mulai meninggi   melesat, menyusuri jalan depan rumah dan melewati  lorong kecil arah barat dekat lapangan badminton untuk melihat apa yang terjadi, terdengar ibu berteriak memanggil.

Saya tahu dimana  gudang peluru itu, tempat dimana saya sering bersama sahabat kecil saya,  wiranto,Yudi, Iyok dan Narto bermain ditepi-tepinya. Gudang peluru itu berbentuk bagai  enam makam besar dengan gundukan berbentuk parabola yang di masing-masing ujungnya terdapat tangga menuju kebawah dan dibatasi oleh kerangkeng besi kokoh dan pintu kayu maha berat. Letaknya yang dekat dengan Dapur tempat memasak bagi keperluan pasukan penghuni asrama yang tinggal didalam markas  lebih membuat kami menjuluki tempat itu sebagai "Belakang dapur" dibanding menyebutnya sebagai gudang peluru. Mulanya kami tak menyadari bahwa tempat bermain kami itu tersimpan ribuan peluru roket besar sebesar batang kelapa yang dulu disiapkan oleh presiden soekarno untuk menghantam tentara kerjaaan Belanda guna membebaskan Irian barat, sampai sebuah letusan kecil pernah terjadi pada bulan Juli 1984 sebelumnya namun berhasil dipadamkan. Saya menyeruak dan menerjang berlawanan arah dengan beberapa Provost yang mencoba menghadang laju orang-orang yang sangat ingin tahu, dan tiba-tiba.....kami saling bertubrukan. Lampu seketika padam mengakibatkan pandangan yang gelap gulita tanpa cahaya. Para Provost berteriak mengusir siapa saja yang berjalan ke arah gudang peluru yang jaraknya hanya  1-2 kilometer saja dari rumah kami. Saya panik dan berlari berbalik arah, suara dentuman mulai mengeras dan menggetarkan bumi.

Tiba dirumah, sekeluarga kami nampak panik kecuali ibu. Ia sibuk berunding dengan para tetangga untuk berencana seterusnya akan berbuat apa namun dentuman demi dentuman membuyarkan semuanya, satu demi satu tetangga kembali kerumah dan mempersiapkan pengungsian apa adanya. Sementara Ibu memasukkan segala pakaian yang bisa dibawa, kami anak laki-laki mempersiapkan segala surat yang perlu dibawa dalam sebuah kopor. Adik bungsu saya menangis sejadi-jadinya, karena ketakutan luar biasa dan juga menangisi sofa baru di ruang tamu kesayangannya yang baru saja dibeli ayah seminggu yang lalu. Ibu duduk berdoa diruang tamu lalu meletakkan sebuah Alqur'an di atas meja dan mengajak kami bergerak meninggalkan rumah. Ketenangan ibu saat itu memberi kekuatan tersendiri. Di jalan utama ribuan orang mulai bergerak, takbir berkumandang, doa dihantarkan dari mulut semua orang, tangis anak-anak kecil yang tak  terperikan ketakutannya karena tak tahu ada apa gerangan sementara manusia dan kendaraan tumpah ruah mencari jalannya masing-masing.

Gelegar yang menggoyang bumi  bersahutan tiada henti di belakang kami dalam gelap gulita tanpa penerangan. Perjalanan yang sungguh dahsyat ditingkahi dengan teriakan "Awaaaas...!" berkali-kali. Peringatan itu berulangkali dikomando para lelaki dan tentara muda yang ikut juga meninggalkan markasnya ketika bulatan merah melintas beberapa meter  diatas kepala mendesirkan gemericik pasir dan hawa yang amat panas pada tengkuk. Ribuan orang seirama bertiarap di jalan-jalan lalu kembali berlari menuju arah selatan tanpa tahu mau kemana tujuan akhirnya. Desir panas datang dari roket yang meluncur tak tentu arah kearah timur dan beruntung hanya beberapa kearah selatan tempat arah kami berusaha mengungsi, sebuah pilihan yang tepat yang hanya Tuhan saja yang tahu mengapa semua orang memilih arah itu. Roket itu melesat silih berganti bagai tiada kendali dan bunyi dentuman beberapa ton besi yang panjang menghujam tanah kebun-kebun yang kami lalui siap mencabut nyawa ribuan orang yang jatuh bangun bertiarap dan berdiri dengan teriakan masing-masing. Dalam kilatan cahaya yang menerangi gulita malam itu  sebuah mobil berjalan perlahan bersama dibelakang kami sekeluarga dan sorot lampunya menandai punggung kami lalu terdengar teriakan orang dari dalamnya mengajak kami sekeluarga untuk ikut ke dalam mobil itu. Mereka tetangga kami cukup jauh yang mengenali ibu karena ibu sering membuatkan baju untuknya. Karena kami masuk rombongan pertama, jalan masih memungkinkan untuk ditembus, sementara dibelakang kami lautan manusia harus berjalan tertatih tatih, jatuh bangun menuju tempat yang aman sejauh mungkin menghindar lokasi ledakan. Kembali Tuhan memberikan kendaraan cepat untuk kami meninggalkan epicentrum ledakan yang merontokkan fondasi dan dinding-dinding rumah yang kami tinggalkan.

Kami tiba lebih cepat di kawasan Pondok Cina disbanding mereka yang tak beruntung hingga harus terus menyusuri jalan yang panjang dimalam itu. Ketika tiba di tanah yang datar depan halte Universitas Indonesia yang kala itu masih belum beroperasi, kami memandang kearah utara melihat langit memerah meletup letup dengan bara yang membumbung serta kilatan roket yang melintas diangkasa siap memangsa apa saja yang ada di depannya. Sekonyong-konyong ditengah doa untuk para tetangga dan kawan-kawan yang tengah berjalan mengungsi, sebuah ledakan maha dahsyat menghantam wajah-wajah yang cemas, buliran pasir yang terhempas dari arah utara membuat sebuah desingan hebat hingga membuat kami tersungkur di jarak yang demikian jauh dari tempat ledakan. Semua kembali ke mobil dan meneruskan perjalanan menuju depok tempat dimana beberapa kerabat yang mau menampung kami sebagai pengungsi.

Malam itu seluruh wilayah Jakarta selatan dan timur morat-marit, roket berdentam ke tanah menghajar apa saja dibumi tak ada yang menghentikannya. Sungguh suatu kemurahan Tuhan, tak ada satupun roket itu meledak pada titik jatuhnya hingga korban tak banyak jatuh karena ledakan, padahal di dalam gudang itu terlontar peluru dan rudal berjenis roket berjarak tembak 15 km yang bila peluru ini meledak, seorang anak yang berada 100 meter dari ledakan akan muntah darah karena jantungnya tergetar. Kemudian ada howitzer 140 mm, ada peluru-peluru meriam anti Tank. Juga di situ disimpan bahan peledak TNT dalam pak-pak lima pon (TEMPO). Malam itu kami tidur dalam pengungsian, disebuah rumah seorang wartawan di Depok sementara ayah yang bergegas menuju rumah kami di tengah tugasnya hanya bisa berdiri di lapangan seberang Trakindo bersama Pangab Jenderal L.B. Moerdani, Pangdam V Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno, Kapolri Jenderal Anton Sudjarwo, dan Kapolda Metro Jaya Mayjen Soedarmadji yang sama sama berada dilokasi itu karena tak mungkin untuk bergerak meninjau langsung ke lokasi lebih dekat. Dalam catatan beberapa majalah dan Koran seperti Tempo, Sekitar 370 pasien diungsikan ke berbagai tempat: RS Pertamina, RS Yayasan Jakarta, ke Apotek Retno, Gereja HKBP, Balai Rakyat, Masjid - yang berlokasi agak jauh dari gudang mesiu itu. Dua pasien meninggal. kena serangan jantung. Dan karena panik 35 bayi dapat diungsikan, tapi tanda pengenal bayi yang tak sempat dipasang.

Setelah semua pasien diungsikan, baru sebuah peluru menghajar Asrama Putri II. Peluru itu menembus tembok, tembok pun hancur. Sebuah pesawat televisi masih tampak utuh terjepit reruntuhan tembok. Dalam ledakan malam itu para Marinir menyelamatkan tank dan panser menjauhi tempat kebakaran, sementara puluhan mobil pemadam kebakaran semula berniat memadamkan api tapi langsung berbalik arah karena yang dihadapi adalah enam buah gudang peluru, satu kendaraan tertinggal dilokasi karena kepanikan yang terjadi. Hingga esok paginya, ayah tak tahu dimana kami berada demikian juga kami tak tahu ayah dimana, saat itu tak ada mobile phone yang bisa saling memberi kabar. Hari kedua ketika ledakan agak mereda saya meminta ijin ibu untuk pergi sendiri kembali kerumah dan ia mengijinkan dengan wajah khawatir. Dengan menumpang kendaraan apa saja saya berhasil bertemu ayah di depan rumah yang nyaris rata dengan tanah. Serpihan mortir menancap didinding-dinding yang tersisa. Uniknya bangunan rumah kami hancur rata dengan tanah namun masih ada ruangan yang berdiri kokoh satu petak saja yaitu ruang tamu. Dindingnya utuh namun kaca-kaca hancur tak tentu bentuknya. Disana sofa baru yang dibeli ayah sudah terselimuti serpihan debu, dan diatas meja kaca yang masih utuh, satu buah kitab suci Alqur'an dimana ibu meletakkannya sebelum mengungsi masih ada diatasnya tanpa tergeser sedikitpun.

Saya membayangkan betapa bahagianya adik bungsu saya jika tahu sofa kesayangannya masih utuh tanpa rusak sedikitpun. Mulai hari itu, saya sendiri dan ayah hidup dalam tenda pengungsian sementara ibu dan adik serta kakak tetap berada di kawasan depok hingga situasi aman. Berdiri mengular di depan dapur umum untuk menerima makan pagi siang dan malam sudah menjadi keharusan yang harus dihadapi murid SMP seperti saya. Tinggal menyebut anak siapa, maka sebongkah daging, ikan dan sayur serta nasi akan ada dalam dekapan.

Maka ketika dalam sebuah kesempatan saya mengajak ketiga anak lelaki saya tidur dalam dingin malam dikawasan Cibodas dengan tenda yang terus berogoyang tertiup angin, saya menyampaikan cerita ini pada mereka bahwa kapanpun dan dimanapun kita hidup bencana selalu siap menelan kita sebagai manusia, tak peduli di kota atau didesa. Mereka saya siapkan untuk bisa hidup dalam dekapan hangatnya hotel bintang lima, namun tak ada salahnya mereka juga bersiap untuk bisa hidup dalam tenda pengungsian ketika Tuhan menguji hidup kita.

Ketika langit malam runtuh saat itu, Tuhan berseru dalam gemuruh dan desingan peluru, “Tugas Manusia adalah berusaha dan Tuhan senantiasa menyiapkan hadiah bagi setiap mahlukNya yang Bersabar..."

Penulis : Dhadhoenx Hariyanto -
di grup FB Indonesia Tempo Doeloe (ITD)

Tidak ada komentar:

Kehamilan Kedua

            Waktu itu tanggal 7 Februari 2021, ada seseorang share di grup wa tentang seleksi beasiswa S2 tazkia jurusan magister ekonomi sy...