Selasa, 06 Maret 2018

ASMARA KEDUA

Aku menikah di usia yang tak lagi belia, hampir kepala tiga. Padahal orang-orang bilang aku cantik, putih dan tinggi, meski hidungku tak mancung tapi bertengger manis.

Tak laku? bukan sih, banyak yang naksir atau yang terang-terangan ngajak nikah, tapi hatiku telah terikat dengan Arkan teman sepermainan dari kecil, selisih usia dua tahun. Dari kecil dia baik selalu melindungi dan ngemong. Makin dewasa kami makin dekat dan akhirnya kita punya komitmen untuk membina rumah tangga.

Meski usia kita telah cukup, begitupun dengan finansial, dia bekerja dengan gaji yang cukup dan akupun sama bekerja di perusahaan swasta. Tapi Arkan selalu menunda dengan alasan tak mau melangkahi Bang Johan.

Bang Johan Kakak dari Arkan, ganteng tapi dingin jarang ada senyum di bibirnya, dari cerita Arkan Bang Jo ditinggal calon istrinya beberapa hari sebelum pernikahan, calonnya pergi dengan laki-laki lain.

"Tapi sampai kapan kita menunggu Bang Jo, Ar?"
"Sabar Cha, percaya pada suratan takdir," jawab Arkan dengan tetap tenang.
"Sabar sih sabar, Ar! tapi ingat usiaku, hampir tiga puluh," kataku dengan suara tercekat saat sadar bilangan yang kusebut. "Lagian kalau tidak usaha mana bisa kita nikah," lanjutku berapi-api.
"Jangankan mendekati tiga puluh, sampai nenek-nenek kau tetap yang terindah buatku, Cha."
"Halah ... gombal kaya abege!"
~
Seminggu setelah kejadian itu aku tak bertemu Arkan, hingga malamnya setelah shalat maghrib aku tenggelam dalam bacaan kalamullah, pintu kamar diketuk dan Ibu memanggil.
Kututup Al Qur'an dam membuka pintu. Ibu langsung masuk dengan tergesa.

"Kalau mau ada tamu ya bilang atuh, Neng! kan Ambu malu tak ada suguhan," cecar Ibu.
"Tamu, tamu siapa Bu?"
"Keluarga besar Pak Ibrahim datang."
"Hah? kaget bahagia dan beraneka rasa berebut masuk dihatiku.
"Sudah, kamu dandan yang cantik, Ibu tunggu di depan,"
"Tapi, Bu."
"Sudah, ayo cepet!"

Gamis merah hati dipadukan dengan kerudung senada, setelah rapi aku menyusul Ibu ke ruang tamu. Benar saja semua keluarga Pak Ibrahim sudah memenuhi ruangan hanya terselip Apa, Ambu dan adikku Naufal.
Kuedarkan pandangan kenapa Arkan tidak ada.

"Sini duduk, Teh!" Naufal menuntunku duduk di sampingnya.
"Kak Arkan tidak ikut," bisiknya, paham dengan hatiku karena dia satu-satunya yang tahu hubungan kami.
"Nah karena Nak Nissa sudah hadir, boleh kami sampaikan maksud kedatangan kami?" Paman Hamdan yang merupakan adik Pak Ibrahim mulai bicara.
"Silahkan, sambil disambi ngopi," jawab Apa.

Akhirnya mereka mengutarakan niat mereka menghitbah aku, juga resepsi yang jangan dilama-lama, segera ditentukan katanya.

"Bagaimana Cha?" tanya Ibu.
"Sebentar, saya ikut bicara. Bapak sekeluarga menghitbah Kak Nisa buat siapa? mengingat putra Bapak ada dua," kata Naufal.
Ah ... ini anak memang dewasa sikapnya, meskipun posisinya sebagai adik tapi aku sering bermanja dan meminta pendapatnya bila ada masalah.
"Betul, kami lupa," kata Pak Ibrahim. Disambut tawa semuanya, aku hanya tersenyum.
"Kami menghitbah Nak Annisa untuk putra kami Johan," sambung Paman Hamdan.

Derrrrr!
Jantungku bagai kena setrum dan langsung menjalar keseluruh tubuh, lesu, marah, kecewa dan kaget.

"Bagaimana Nak Nisa?" tanya Pak Ibrahim, sementara Bang jo hanya tersenyum, saat kucoba mencuri pandang.
Dengan segenap kekuatan aku menjawab.
"Saya minta waktu, Pak, Bu. Tiga hari sampai seminggu."
"Baiklah kalau begitu, karena kami sudah ngopi, makan isi toples hampir ludes dan yang penting jawaban Nak Nisa, kami mau pamit," kata Pak Ibrahim.
Sepeninggal keluarga Arkan aku segera masuk kamar, kutelpon Arkan dengan gusar. Apa ia tahu keluarganya menghitbah aku untuk Bang jo.

"Iya, Cha! ... aku tahu," jawabnya.
"Lalu?"
"Aku tak bisa berbuat apa-apa, maafkan aku Cha."
"Kamu tak sanggup mengatakan pada keluargamu, tentang hubungan kita?"
"Sekali lagi maafkan ketidak berdayaan aku, Cha. Kuharap kamu mau terima Bang Jo."
Hakss! Aku tutup telpon, kulempar ke atas kasur. Marah dan kecewa lagi-lagi mengerubingi rasaku.
Tiga hari aku belum bisa memberi jawaban, semua samar dalam pikiranku. Kebencian pada Arkan, membuat pikiranku mengusulkan untuk menerima Bang Jo.
Handphonku berdering tanda sms masuk, dari Arkan.
"Asslamu alaikum, Cha. Aku pamit ditugaskan ke perusahaan cabang di pelosok. Maafkan aku."
Tak kubalas, meski hati menangis antara rindu, kesal dan kecewa.
~~
Sebulan sudah aku resmi jadi istri Bang Jo, pernikahan yang sangat diharapkan dua keluarga. Entah denganku dan Bang Jo.
Arkan tak ada kabar, seperti hilang ditelan bumi. Saat pernikahan kami ia pun tak hadir, saat aku tanyakan pada Danisa adik bungsunya, ia bilang sibuk ada pekerjaan yang tak bisa di tinggal.

Benar kata pepatah 'Tresna jalaran saka kulina' akhirnya aku merasa nyaman berada di samping Bang Jo, mulai sedikit menggeser singgasana Arkan di hatiku.

Kami pindah rumah karena pekerjaan Bang Jo mengharuskan kami pindah ke lain kota. Delapan tahun pernikahan dua orang buah hati kami telah hadir. Sang Kakak Fahri dan adiknya Farah. Telah tumbuh dengan lucu dan sehat. Lengkap sudah rasanya kebahagiaan ini. Tinggal merawatnya karunia yang tak terhingga ini.
~~~
Braaaaaaaak!!
Mobil yang kami tumpangi ditabrak sebuah truk dengan kecepatan tinggi. Anak-anak yang duduk di belakang itu yang terpikir. Tapi sebelum aku meraih mereka semua terlihat gelap.

Aku dan Bang Jo terluka parah, seminggu Bang Jo koma dan aku tak berdaya dengan berbagai luka. Sebulan aku mulai pulih dan merawat Bang Jo. Anak-anak tak mengalami luka serius karena posisi mereka yang duduk di belakang.

Dua bulan Bang Jo boleh pulang, dan harus terapi seminggu sekali. Ia belum bisa berjalan karena retakan di tulang punggung juga pendarahan di bagian kepala.

Kujalani dengan berusaha tabah. Merawat Bang Jo, anak-anak dan menjaga toko untuk sumber penghasilan kami, karena otomatis Bang Jo tidak lagi bekerja. Untuk pengobatan mertua dan adik iparku Danisa yang membantu.

Tiga tahun aku menjalaninya, ketika suatu malam Bang Jo melambai dari kursi roda di ruang keluarga.

"Ada apa, Bang?"
"Maafkan Abang, telah banyak menyusahkan kamu, jaga anak-anak ya," katanya sambil membelai kepalaku.
"Abang ngomong apa, sih? Abang akan sehat, kita membesarkan anak-anak bersama."
Abang hanya tersenyum, lalu meninggakanku begitu saja. Setelah melihat anak-anak di kamarnya aku menyusul Bang Jo ke kamar, ia tengah berbaring dengan menatap langit-langit.
"Abang ngantuk?"
"Iya Nis, mata pengen merem terus."
"Ya sudah, Abang tidur.”
“Sini temani!” katanya sambil menepuk kasur di sampingnya.
Aku menurut, merebahkan tubuh di sampingnya. Ketika Bang Jo tiba-tiba memijit hidungku gemas.
“Abang, sakit tahu!” kataku pura-pura ngambek.
“Mau lagi?”
“Ogah!”
“Kalau gitu, cium dulu,” katanya sambil menunjuk pipinya.

Aku menurut, berbalik dan menciumnya. Bang Jo memelukku, akupun tak menolak hingga kita, tepatnya aku terlelap. Itulah terakhir kali aku berbicara dengannya. Karena subuh saat kubangunkan untuk shalat ia sudah tak bernafas.
~~~
Dua tahun sudah aku hidup tanpa Bang Jo, rumah dan toko kujual. Kami pindah ke rumah Ambu, atas permintaan mereka, karena Naufal pun sudah mandiri dengan istrinya mengelola sebuah toko pakaian.

Dengan mertua pun berdekatan, jadi saat mereka kangen cucunya tak perlu jauh.
Hingga suatu sore, saat aku tengah tiduran setelah pulang dari toko membantu Naufal, Farah menepuk-nepuk pipiku.

“Bunda!”
“hmm.”
“Bangun, iihh.”
“Ada apa?” kataku sambil membuka mata.
“Di rumah Eyang ada Om baru, tadi siang datang Eyang sampai nangis loh, Bun.”
“Om baru?”

Farah mengangguk, lalu ia pamit mandi. Aku masih tercenung memikirkan Om baru, siapa pikirku. Ketika ada yang mengetuk pintu, bergegas keluar dari kamar menuju pintu depan. Begitu dibuka jantungku seakan melonjak.

“Arkan?”
“Boleh aku masuk?”
“Iya, silahkan!”

Lama kami saling diam, disamping bingung harus berkata apa, juga masih sibuk menata deburan rasa yang berbaur memenuhi rongga dada. Sampai akhirnya Arkan bicara.

“Aku datang untuk minta maaf, padamu Cha.”
“Sudah terlalu banyak kau mengucap maaf, apalagi?”
“Kamu marah, benci padaku?”
Aku tak mampu menjawab, hanya terdiam sambil memaikan ujung jilbab.

“Kalau kamu masih marah aku terima, tapi sebelumnya dengarkan penjelasanku, Cha. Aku tak kuasa menyakiti orang-orang yang telah berjasa, aku bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Aku anak angkat mereka, lalu pantaskah aku mematahkan harapan mereka?” Arkan bercerita dengan sedikit terbata. "Apa kamu pikir aku bahagia? sakit Cha, sampai aku harus pergi agar tak bertambah sakit melihatmu." tambahnya.

Aku menatapnya haru, ternyata dibalik semua kepengecutan yang kusandangkan padanya, ada keluhuran budi.

“Aku datang ingin meminta satu kesempatan, untuk kita kembali menjalin apa-apa yang telah lama terputus.”
"Istrimu?"
"Istri? Hahaha" ia tertawa hambar.
"Aku mengajukan mutasi ke pelosok, bertahun-tahun kumengabdikan diri di sana, di hutan tepatnya. Kalau monyet banyak."
Aku tersenyum, lucu dengan ceritanya.
"Senyummu masih sama, yang terindah."
"Aku sudah tua, Ar."
"Apa kamu lupa? sampai jadi Nenek-nenek pun kau tetap yang terindah bagiku."
"Gombal."
"Serius ... kalau bukan karena indahmu mana mungkin aku betah berteman monyet selama bertahun-tahun."
"Kamu tak berubah ya gaya bahasanya."
"Mungkin,
dan selama di sana aku menulis buku, yang rencananya mau kuhadiahkan padamu, kalau bersedia jadi istriku."

Garut 04 Maret 18


Karya : Nay Moza
di grup FB Komunitas Bisa Menulis

_____________

maaf ya mba, ga ijin mau share.. tulisannya bagus bangettt.. 

Tidak ada komentar:

Kehamilan Kedua

            Waktu itu tanggal 7 Februari 2021, ada seseorang share di grup wa tentang seleksi beasiswa S2 tazkia jurusan magister ekonomi sy...